Gowa Center. Gowa merupakan
salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi-Selatan. Kabupaten ini beribukota di Sungguminasa, terletak 12 km sebelah selatan Makassar. Dengan luas wilayah 1.883,32 km² dan berpenduduk sebanyak ± 600.000 jiwa menjadi kabupaten dengan jumlah penduduk ketiga terbesar di Sulsel.
Dalam khasanah
sejarah nasional, nama Gowa sudah tidak asing lagi. Mulai abad ke-15, Kerajaan
Gowa merupakan kerajaan maritim yang besar pengaruhnya di perairan Nusantara.
Bahkan dari kerajaan ini juga muncul nama pahlawan nasional yang bergelar Ayam
Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI yang berani melawan VOC
Belanda pada tahun-tahun awal kolonialisasinya di Indonesia. Kerajaan Gowa
memang akhirnya takluk kepada Belanda lewat Perjanjian Bungaya. Namun meskipun
sebagai kerajaan, Gowa tidak lagi berjaya, kerajaan ini mampu memberi warisan
terbesarnya, yaitu Pelabuhan Makassar. Pelabuhan yang kemudian berkembang
menjadi Kota Makassar ini dapat disebut anak kandungnya, sedangkan Kerajaan
Gowa sendiri merupakan cikal bakal Kabupaten Gowa sekarang.
Sebuah bukit di tepi jalan Bulutana di Kec. Tinggimoncong
salah satu wilayah dataran tinggi di Gowa.
Foto: Darmawan Denassa
|
Kota Makassar
lebih dikenal khalayak dibandingkan dengan Kabupaten Gowa. Padahal kenyataannya
sampai sekarang Kabupaten Gowa ibaratnya masih menjadi ibu bagi kota ini.
Kabupaten yang hanya berjarak tempuh sekitar 10 menit dari Kota Makassar ini
memasok sebagian besar kebutuhan dasar kehidupan kota. Mulai dari bahan
material untuk pembangunan fisik, bahan pangan, terutama sayur-mayur, sampai
aliran air bersih dari Waduk Bili-bili.
Kemampuan
Kabupaten Gowa menyuplai kebutuhan bagi daerah sekitarnya dikarenakan keadaan
alamnya. Kabupaten seluas 1.883,32 kilometer persegi ini memiliki enam gunung,
dimana yang tertinggi adalah Gunung Bawakaraeng. Daerah ini juga dilalui Sungai
Jenebarang yang di daerah pertemuannya dengan Sungai Jenelata dibangun Waduk
Bili-bili. Keuntungan alam ini menjadikan tanah Gowa kaya akan bahan galian, di
samping tanahnya subur.
Potensi
Kabupaten Gowa yang sesungguhnya adalah sektor pertanian. Pekerjaan utama
penduduk kabupaten yang pada tahun 2000 lalu berpendapatan per kapita Rp. 2,09
juta ini adalah bercocok tanam, dengan sub sektor pertanian tanaman pangan
sebagai andalan. Sektor pertanian memberi kontribusi sebesar 45 persen atau
senilai Rp. 515,2 miliar. Lahan persawahan yang tidak sampai 20 persen (3,640
hektar) dari total lahan kabupaten mampu memberikan hasil yang memadai. Dari
berbagai produksi tanaman pertanian seperti padi dan palawija, tanaman
hortikultura menjadi primadona.
Kecamatan-kecamatan
yang berada di dataran tinggi seperti Parangloe, Bungaya dan terutama
Tinggimoncong merupakan sentra penghasil sayur-mayur. Sayuran yang paling
banyak dibudidayakan adalah kentang, kubis, sawi, bawang daun dan buncis. Per
tahunnya hasil panen sayur-sayuran melebihi 5.000 ton. Sayuran dari Kabupaten
Gowa mampu memenuhi pasar Kota Makassar dan sekitarnya, bahkan sampai ke Pulau
Kalimantan dan Maluku melalui Pelabuhan Parepare dan Pelabuhan Mamuju.
Selain bertani
sayur yang memiliki masa tanam pendek, petani Gowa juga banyak yang bertani
tanaman umur panjang. Salah satunya adalah tanaman markisa (Fassifora sp).
Mengunjungi Makassar kurang afdol rasanya kalau tidak membawa buah tangan sirup
atau juice markisa. Jika kita melihat pemandangan
di bandara atau pelabuhan, kebanyakan para calon penumpang yang akan
meninggalkan Makassar membawa sari buah beraroma segar ini. Tanaman yang
berasal dari daratan Amerika Selatan ini identik dengan Sulawesi Selatan. Desa
Kanreapia, Kecamatan Tinggimoncong merupakan salah satu daerah penghasil
markisa di Kabupaten Gowa. Sayangnya markisa yang rasa buahnya manis asam dan
mampu menggerakkan industri kecil makanan dan minuman ini kini mulai kurang
diminati petani. Menanam markisa memang tidak mudah, kecuali karena masa
tanamnya panjang dan memerlukan perawatan khusus, seperti tinggi permukaan
tanah, pupuk dan obat-obatan yang cukup mahal.
Selain itu
harga markisa juga tidak stabil dan cenderung terus menurun. Tanaman merambat
ini memiliki satu masa panen per tahun (November-Januari) dengan produksi
sekitar 300.000 buah per hektar. Jika harga pada masa panen raya, satu kilo
(kurang lebih 25 buah) hanya Rp. 500,- sampai Rp. 800,sehingga para petani hanya menerima Rp
6,0 juta sampai Rp 9,6 juta per hektarnya. Keadaan ini yang mendorong luas
tanam markisa terus menurun. Pada tahun 1996 terdapat 1.241 hektar dengan
produksi 21.861 ton. Empat tahun kemudian luas tanam menjadi 854 hektar dengan
produksi 7.189 ton. Petani banyak beralih tanam dari markisa ke sayuran karena
lebih pendek masa tanamnya. (*)
0 komentar:
Posting Komentar